Semenjak, kasus pernikahan kedua Aa Gym, tidak henti-hentinya fenomena ini dijadikan ajang pembicaraan, dari talk show ditingkat media elektronik sampai dengan obrolan dipojok-pojok warung kopi. Bahkan ribuan sms masuk ke Presiden dan Ibu presiden untuk menanggapi masalah ini, sehingga isu ini lebih menyedot perhatian presiden ketimbang aksi mesum Yahya Zaini dengan Maria Eva.
“Dan jika kamu taku tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(QS: Annisa 2-3)
Poligami “sunnah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami, namun berlindung dari pernyataan tersebut, hal ini lebih merupakan suatu bentuk lain dari pengalihan tanggungjawab untuk berlaku adil, karena memang pada kenyataannya sebagaimana ditegaskan pada ayat diatas, berlaku adil sangat sulit dilakukan. Padahal jika kita pahami ayat tersebut lebih meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap anak yatim piatu dan janda korban perang. Ayat tersebut tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi apalagi mengapresiasi poligami.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat. Bahkan Abduh lebih jauh menyatakan bahwa poligami adalah peyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kedhaliman.
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Dan yang lebih menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Monogami dilakukan Nabi ditengah masyarakat yang kala itu menjadikan poligami sebagai hal yang lumrah dan wajar dikalangan masyarakat. Dari kalkulasi lamanya Rasulullah bermonogami -28 tahun sementara hanya 8 tahun beliau berpoligami diakhir masa hidup beliau- maka tidak beralasan menjadikan poligami itu sunnah, lebih lanjut lagi, kasus poligami Nabi merupakan pengejawantahan Ayat Annisa’ 2-3 untuk perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim, ditambah lagi dengan menelusiri kitab Jami’ul Ushul, karyanya Imam Ibn Astir, akan dapat difahami bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk memberikan solusi.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, dimana nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.
Nabi dan larangan poligami
Kembali menilik sejarah Nabi, bahwa poligami yang dilakukan Nabi adalah sebagai upaya transformasi sosial, dimana hal tersebut merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 dimana nilai seorang perempuan dan janda sedemikian rendahnya, kaum perempuan dainggap second citizen sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak apapun yang mereka suka.
Sebagai contoh kasus, para shabahat Nabi yang diantaranya Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin Harist, yang pada masa itu mereka telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, dan pada waktu itu Nabi meminta mereka untuk menceraikan dan menyisakan hanya empat istri, ini merupakan pernyataan eksplisit dalam pembatasan poligami dimana awalnya tidak ada pembatasan sama sekali terhadap poligami.
Sebenarnya jika ditelaah dengan sungguh-sungguh, teks-teks hadist poligami sebenarnya lebih mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
Penutup
Dapat disimpulkan dari sini bahwa poligami bukanlah semata persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan poligami lebih pada persoalan persoalan budaya, oleh karena itu praktek poligami dapat ditinjau dari tingkatan sosial yang berbeda, misalnya dalam tradisi agraris poligami dianggap sebagai strategi untuk mendapatkan tenaga kerja ganda tanpa upah, sementara untuk kalangan priyayi poligami sebagai bentuk pembendamatian perempuan, dimana ia disepadankan dengan harta dan tahta yang berguna sebagai penyempurnaan derajat sosial laki-laki. Dari cara pandang sosial dapat dilihat dengan jelas bahwa poligami merupakan sebentuk proses dehumanisasi perempuan, dimana dalam konteks ini perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, setuju, atau bahkan mendukung dengan tindakan poligami meskipun mereka mengalami penderitaan batin yang luar biasa, bahkan tidak sedikit yang menganggap penderitaan itu sudah sepatutnya ia dapatkan atau bahkan ada juga yang cenderung menyalahkan dirinya sendiri.
Jika argumen agama digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dimana hal itu diperkenankan ketika memang tidak ada jalan lain.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".
Apabila yang utama di dalam masalah pernikahan adalah cukup dengan satu isteri karena menjaga ketergelinciran, dan karena takut dari kepayahan di dunia dan siksaan di akhirat, maka sesungguhnya di sana ada pertimbangan-pertimbangan yang manusiawi, baik secara individu ataupun dalam skala masyarakat
Permasalahan ini membuat saya teringat dengan kutipan sajak Khairil Anwar
yang menggambarkan seorang lelaki tidak mau cintanya terbagi. ''Aku tahu kau
bukan yang dulu lagi/Kalau kau mau kuterima kembali/untuk ku pasti/ sedangkan
dengan cermin aku enggan berbagi''. Saya yakin perempuan pun begitu.***
sekian
duh.. bunda membacanya jadi paham sekarang..
ReplyDeletebunda anti poligami..apalagi bunda saat ini sangat merasakannya..
saya hanya share aja bunda, semoga bisa diambil manfaatnya
ReplyDeletehmmm...
ReplyDeletejujur mungkin aku adalah wanita yang aneh, karena sangat pro dengan poligami, meski aku sendiri masih sedikit ragu dengan beribu-ribu alasan di otakku.
but...
thanks atas sharenya
Sebenarnya kepentingan poligami itu untuk apa ya....dan dalam konteks yang bagaimana poligami itu harus dilakukan...kalau itu mengikuti sunnah Rasulullah SAW kenapa yang diikuti hanya poligami saja, padahal sunnah Rasul itu meliputi banyak hal tidak hanya poligami....betul tidak ya bu hilda... sebelumnya salam kenal....blogger baru..
ReplyDelete