Kali ini saya ingin sekedar berbagi cerita tentang fenomena sosial yang menjadi trend di kalangan para pencari jodoh.
Dalam kondisi sosial yang dalam pergaulannya cenderung terpetak pada perbedaan gender, membuat sempitnya interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga seringkali dalam keluarga ada anggota keluarga yang sudah cukup umur tapi belum berjodoh.
Terlebih pihak perempuan, yang tentu saja orangtua perempuan akan semakin gelisah ketika mendapati anak gadisnya sudah waktunya menikah tetapi belum satupun pinangan yang datang atau cocok. Ditambah minimnya relasi pergaulan, atau si perempuan yang hampir semasa hidupnya tidak pernah mempunyai satupun teman laki-laki, karena rata-rata sekolah sekolah umum disini tidak menganut sistem co-education, dimana sekolah khusus perempuan tidak akan bergabung dengan sekolah yang khusus untuk anak laki-laki, maka tidak mengherankan hampir tiap pernikahan dari pihak perempuan seringkali merupakan pernikahan atas dasar perjodohan dari orang tua. Ditambah lagi masih kentalnya tradisi yang menganggap bahwa pernikahan karena atas dasar pilihan sendiri atau atas dasar love-marriage adalah sebuah tradisi yang tabu, jadi tidak mengherankan perjodohan biasanya terjadi antar keluarga sendiri atau antar sepupu.
Lantas, bagaimana dengan yang belum berjodoh? Dalam masyarakat urban atau semi-urban, ada trend matchmaker, dimana orangtua perempuan berani membayar mahal pada jasa matchmaker ini untuk mencarikan jodoh yang terbaik untuk anaknya, dan tidak jarang para orang tua tidak hanya mengandalkan satu orang, melainkan beberapa orang matchmaker untuk mencarikan jodoh anaknya. Yang demikian ini biasanya anak akan menikah diluar garis keluarga.
Lain kalau di daerah rural atau pedesaan, dengan lingkup pergaulan yang tertutup, tradisi yang lebih kental seringkali dalam satu keluarga yang mungkin parasnya less fortunate akan menjadi sisa keluarga yang akan lama mendapatkan pinangan, sehingga hal tersebut tentu saja menganggu kepribadian si perempuan tadi.
Jadi, jasa matchmaker akan sangat membantu menyambungkan tali perjodohan untuk para less-fortunate, atau para kakak yang tidak ingin nikahnya didahului oleh adik perempuannya.
Dalam kondisi sosial yang dalam pergaulannya cenderung terpetak pada perbedaan gender, membuat sempitnya interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga seringkali dalam keluarga ada anggota keluarga yang sudah cukup umur tapi belum berjodoh.
Terlebih pihak perempuan, yang tentu saja orangtua perempuan akan semakin gelisah ketika mendapati anak gadisnya sudah waktunya menikah tetapi belum satupun pinangan yang datang atau cocok. Ditambah minimnya relasi pergaulan, atau si perempuan yang hampir semasa hidupnya tidak pernah mempunyai satupun teman laki-laki, karena rata-rata sekolah sekolah umum disini tidak menganut sistem co-education, dimana sekolah khusus perempuan tidak akan bergabung dengan sekolah yang khusus untuk anak laki-laki, maka tidak mengherankan hampir tiap pernikahan dari pihak perempuan seringkali merupakan pernikahan atas dasar perjodohan dari orang tua. Ditambah lagi masih kentalnya tradisi yang menganggap bahwa pernikahan karena atas dasar pilihan sendiri atau atas dasar love-marriage adalah sebuah tradisi yang tabu, jadi tidak mengherankan perjodohan biasanya terjadi antar keluarga sendiri atau antar sepupu.
Lantas, bagaimana dengan yang belum berjodoh? Dalam masyarakat urban atau semi-urban, ada trend matchmaker, dimana orangtua perempuan berani membayar mahal pada jasa matchmaker ini untuk mencarikan jodoh yang terbaik untuk anaknya, dan tidak jarang para orang tua tidak hanya mengandalkan satu orang, melainkan beberapa orang matchmaker untuk mencarikan jodoh anaknya. Yang demikian ini biasanya anak akan menikah diluar garis keluarga.
Lain kalau di daerah rural atau pedesaan, dengan lingkup pergaulan yang tertutup, tradisi yang lebih kental seringkali dalam satu keluarga yang mungkin parasnya less fortunate akan menjadi sisa keluarga yang akan lama mendapatkan pinangan, sehingga hal tersebut tentu saja menganggu kepribadian si perempuan tadi.
Jadi, jasa matchmaker akan sangat membantu menyambungkan tali perjodohan untuk para less-fortunate, atau para kakak yang tidak ingin nikahnya didahului oleh adik perempuannya.
hmm....manggut..manggut.... aja nih mbk.. smbil memahami.. :D
ReplyDeletematchmaker? ada ya mel profesi kayak gini...mungkin mirip mak comblang ya, tapi bedanya yg ini gratisan..wah, cuman pencarian jodoh semacam ini tersandung tanggungjawab moral ga? kalo akhirnya pas nikah ga cocok..rugi dunk udah bayar mahal,hehe..
ReplyDeletemaaf mel baru bisa mampir nich..agak somse ya aku?hiks, maafin..
Jadi inget satu suku di daerah Afrika yang memiliki kaki yang aneh, mirip seperti huruf V, konon hal itu dikarenakan pernikahan dalam satu keluarga dan berlangsung turun temurun ya Mam.
ReplyDeletebaru tahu neh ada matchmaker
ReplyDeleteArtinya ....
ReplyDeletetidak satu jalan ke Roma
Ikhtiar dengan cara menggunakan jasa ini sangat layak dipertimbangkan para jomblo.
nice sharing
hmaahh..sulit..
ReplyDeletekenapa harus menanamkan pemikiran harus nikah di seusia segini , ini dan itu..
dan pemikiran masyrakat pada umumnya yang masih "sedikit memaksa" dengan celotehan , pandangan..
heheh..
sok tau yah omnganku :d
hmm..yayaya..
ReplyDeletenumpang baca. hehe.
harus woro woro neh bagi yg masih singgle.
ReplyDeletewah love marriage tabu? seberapa banyak para pria yg bisa mendobrak tuh tradisi? ato hampir gak ada yg bisa ngalahin culture?
ReplyDeletemengalir apa adanya saja mam.......
ReplyDeletenice info
ReplyDeletenice info
ReplyDeletemakasih buat infonya
ReplyDeleteinfo yang bagus
ReplyDeletesalam kenal mampir ke blog gan
ReplyDelete