Mengingatkan saya sebaris kalimat dari sebuah novel filsafat Dunia Sofie “A singgle dot out of nothing”, satu titik bermula dari ketiadaan, begitu kata mendiang aristoteles kalo tidak salah. Dari tidak ada saya dilahirkan tak jauh dari kota Jepara. pemandangan centra industri kerajian furniture kerap kita dapati ditiap-tiap ruas jalan di kota ini, kota yang kabarnya merupakan penyumbang devisa terbesar untuk provisnsi Jawa Tengah karena industri furniturnya telah menyeruak masuk ke kancah perdagangan internasional, jadi tidak mengherankan jika laju perindustrian terlihat dinamis, meskipun pergolakan ekonomi juga berimbas pada industri tersebut. Masa kecilku di desa kelahiran hanya berjalan hingga aku meluluskan sekolah dasarku di sebuah madrasah ibtidaiyah tidak jauh dari rumah orang tuaku.
Pesantren Putri Pondok Modern Gontor menjadi pilihan sekolah lanjutan setingkat madrasah stanawiyah dan aliyah, sebuah perjalanan proses pendewasaan yang terkadang berfluktuasi, sampai pada akhirnya aku dapat menamatkan sekolah di pesantren tersebut. Lepas pengabdian wajib, seiring dengan resmi dibukanya Pondok Gontor Putri 2, aku meninggalkan pesantren tersebut. Masih menerka-nerka kemana hendak kujalankan langkah, sampai kemudian-meski tidak lama-aku coba masuk pesantren tahfidz terkemuka di kawasan Kudus kota kretek, sambil menunggu rencana melanjutkan ke perguruan tinggi.
Rupanya kepakan sayap takdir membawa saya ke Pakistan, tahun 99 bersamaan dengan kudeta militer Musharraf aku menjejakkan kaki di bumi Bhutto, sebuah negara yang dari awal kemunculannya dipenuhi dengan konflik, mungkin dapat dibaca lengkapnya disalah satu tulisan yang saya tulis di blog ini, di sebuah kajian tentang dilema politik Islam. Pendidikan s1 saya fokuskan pada jurusan akidah filsafat di International Islamic University Islamabad. Hingga selesai strata ini akhirnya aku putuskan untuk menikah, dengan –waktu itu calon bapak anak-anak kami- Mas Niam (Muhammad Niam Sutaman) seorang kandidat doktoral dibidang hukum lingkungan di universitas yang sama juga.
Pendidikan S2 saya ambil lebih condong karena tuntutan pragmatis ketimbang idealisme, kali ini sebuah tantang cross fakultas dimana saya memutuskan untuk mengambil jurusan Hubungan Internasional dan Ilmu Politik, dari tuntutan pragamatis ini ternyata saya mendapatkan kecondongan yang dalam dibidang ini, hanya terkadang kegiatan domestik lebih banyak menguras konsentrasi untuk mengsilkan sebuah riset tentang asia tengah dan asia selatan, meskipun hingga saat ini cita-cita tersebut masih ada dibenak saya.
Paska S2, its a taugh day, a days when i give up everything for my child, manata hati dan menata sikap, a mother of two and three for my husband J, a decision that it tooks me several time to accept, sebuah keniscayaan dari sebuah komitmen, janji pernikahan yang pernah kami sepakati. Yang saya percaya hanya keikhlasan yang dapat mengingatkan saya pada komitmen tersebut.
Kehadiran anak kami yang pertama –Hilda Farha Kumala- adalah sebuah blessing terutama untuk pembelajaran saya sebagai seorang ibu, sekaligus sebagai seorang mahasiswi-kala itu- i never put my daughter as an excuse for not being punctual for giving my projects, bagi saya kehadirannya adalah penantian yang terkabulkan, bukan sebagai kambing hitam. I know that God has blessing us our daughter so that through her i learn, we both learn something, that become a parent is not a simple job. But that means you give all your time and all of your affections for your kids.
Hidup di negara patriarki tidaklah mudah, terutama bagi orang asing, kondisi keamanan yang terkadang membahayakan komunitas orang asing, membuat saya cenderung lebih memilih untuk memberdayakan diri menggunakan fasilitas yang ada. Tentang fenomena sosial, budaya, politik, hukum, and thanks for the blessing of internet, masa kehamilan pertama dapat saya lewati dengan bantuan fasilitas newsletter dari babycenter.com, segudang isu tentang wanita yang tidak semuanya diketahui oleh kebanyakan kaum perempuan, termasuk proses kelahiran dengan bantuan epidural yang di indonesia sendiri sangat minim sosialisasinya. “The net” seperti film yang dibintangi Sandra Bullock telah banyak membantu diri dalam segala hal. And i’m proud to be a mother of my two cute daughter...and here i am..
Being a mother is sometimes uncounted, but while i couldnt leave my child in their early age, i decide to give up everything for them...just for their upbringing..
Terimakasih sudah membaca profile saya...
What a such beautiful yet remarkable life journey.... I'm proud to have a friend like you ^^!
ReplyDeletethank's for the comment..hope that would make me more humble.
ReplyDeleteWAW!!! luar biasa
ReplyDeleteKadang kehidupan itu mirip novel Paulo Coelho. Bergerak jauh mengejar mimpi. Meninggalkan dipan tempat dimana mimpi itu sendiri dibuat. Menerobos lusinan perkataan dari orang sekitar yang hendak mencegah kepergiannya. namun, kacamata kuda kadung terpasang. Pantang surut kebelakang walau selangkah saja. Menolehpun tidak lagi mungkin dilakukan.
ReplyDeleteTapi begitulah kisah soal penggembala yang meninggalkan gembalaan di padang rumput teduh bertikar danau bening di kampungnya. Nyaris tak ada kota yang tak dilewati selama perjalanannya menuju kota yang menjanjikan mimpi.
Lalu apa kesimpulan paulo coelho di penghujung novel spiritual yang diberinya judul alkemis itu? Hanya pesan singkat. Dalam sebentuk surat. Bahwa berbagai harta karun, termasuk kebahagian yang diimpikannya selama ini didalamnya Justru berada tepat diatas mimpi itu dibangun. Wew...
Sayangya. Saya sangat tidak sepakat dengan Coelho. Bagi saya saat menulis alkemis dia sedang mengalami kegagalan memisahkan antara rasa home sick yang membalutnya dengan sebuah mimpi akan masa depan sang tokoh.
Saya hanya ingin memastikan. Seandainya Njenengan sempat bercakap dengan coelho tentang oto-storyline Njenengan ini. Sebelum alkemis ditulis. Pasti ending buku yang dinominasikan sebagai karya sastra dalam perhelatan nobel tersebut diralatnya. Dan pasti dia akan mengganti bab penutup novelnya dengan pesan yang lebih bertenaga. Yang tak kalah singkatnya: "jangan pernah berhenti memupuk semangat untuk merealisasikan sebuah mimpi".
cerita masa lalu yang inspiratif mam!
ReplyDeletePerjalanan hidup yang mengesankan mbak... Anda patut bersyukur karena karunia ini..
ReplyDeletesalam dari jauh
I've do nothing for the world.
ReplyDeleteItulah yang kupikirkan setelah membaca kisah hidup yang membangakan dari mbak Hilda. Sesuatu yang dulu waktu kecil selalu saya impikan, bisa melanglang buana memberikan anfaat kepada dunia. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan karena kita dilahirkan oleh Allah ke dunia bukan ke Jepara, ke Indonesia atau tempat sempit lainnya.
Hebat mbak. Aku pusing mau komentar masalah Israel-Palestina, mending disini aja. Salam kenal.
apik temenan...
ReplyDeletesuryaden@ opone kang...???
ReplyDeletesalam kenal mbak
ReplyDeleteu r really great.........no words there to explain all about
ReplyDelete