Wednesday, July 22

Kapan Anak-Anak Kita Bangga Menjadi Anak Indonesia

“Untuk melihat format masa depan, tidak perlu superkomputer untuk memproyeksikan masa depan kita, karena apa yang terjadi pada millennium yang akan datang dapat dengan mudah direfleksikan dari seberapa jauh perhatian kita pada anak-anak kita saat ini. Mungkin di era yang akan datang akan dipenuhi dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai macam tekhnologi mutakhir, tetapi lebih dari itu, semua itu sudah harus terbentuk dalam diri dan mental anak-anak kita saat ini.” – Kofi Annan.

Dalam kaitannya dengan Hari Anak Nasional, ungkapan diatas akan terlintas dalam benak kita bahwa masa depan kita terletak pada seberapa maksimalkah perhatian kita pada anak-anak kita? karena anak adalah aset orang tua, keluarga dan lebih dari itu aset bangsa yang kelak akan menjadi tokoh utama yang akan menjalankan lokomotif pembanguan dan kemajuannya.

Dari berbagai tragedi di negeri kita akhir-akhir ini yang diberitakan oleh media massa, sangat disayangkan masih banyak sekali kasus yang menimpa anak-anak dibawah umur, mulai dari kasus busung lapar, gizi buruk yang menimpa sejumlah daerah di Indonesia terutama daerah-daerah pedesaan, kasus polio dan bahkan kasus bunuh diri anak. Kekerasan pada anak-anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak dibawah umur, jual beli anak untuk dipekerjakan atau untuk kepentingan lainnya sampai pada masalah pendidikan.

Seperti diakui oleh Menteri Kesehatan, DR. Dr. Siti Fadilah Supari, bahwa berjuta-juta anak Indonesia masih belum mendapatkan akses terhadap layanan pendidikan yang berkualitas, jumlah anak dibawah umur 14 tahun yang harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga (child labour) semakin meningkat akibat krisis ekonomi di pedesaan, ketidaksetaraan gender, tindak kekerasan terhadap anak serta perlakuan diskriminasi pada anak-anak masih terus terjadi. Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, kematian ibu melahirkan, bayi dan balita di Indonesia juga masih tertinggi.

Itu semuanya adalah problematika yang menimpa anak-anak Indonesia. Belum lagi masalah anak yang menjadi korban bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan tsunami. Sampai kapankah problematika dan penderitaan itu akan selesai dan kapankah anak-anak kita akan bisa mulai tersenyum gembira meniti masa depan mereka?

Pemerintah selama beberapa tahun ini terlihat begitu sibuk dengan masalah politik dan kekuasaan sehingga sering terlihat lambat dalam menyikapi berbagai masalah yang menimpa anak-anak kita. Suatu contoh, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang seluruh gubernur dari semua propinsi di Indonesia beberapa waktu lalu dalam rangka penanggulangan masalah busung lapar dan gizi buruk di daerah NTT agar tidak merebak ke daerah lain, bersamaan dengan itu ternyata tidak hanya NTT saja yang terdapat kasus gizi buruk, buktinya banyak ditemukan kemudian kasus busung lapar dan gizi buruk di wilayah-wilayah terpencil lain yang tidak terjangkau transportasi umum. Begitu juga kasus polio, pemerintah mulai merespon setelah virus itu menelan korban anak-anak kita. Kenapa pemerintah harus menunggu expose pemberitaan media? Kenapa Pemerintah cenderung menunggu aksi untuk bereaksi. Padahal dalam kasus seperti ini yang dibutuhkan bukan pemberitaan media, tapi usaha kongkret apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam melindungi hak anak-anak.

Media kita, khususnya elektronik, dari waktu ke waktu semakin vulgar menampilkan program-program yang tidak lagi mendidik moral anak-anak kita. Seperti survei yang dilakukan oleh lembaga Kritis Media untuk Anak (Kidia) (Kompas 23/5/2005) bahwa 84 persen tayangan film kartun anak yang sebagian besar di antaranya tidak layak dikonsumsi anak usia sekolah telah mendominasi siaran televisi di Indonesia saat ini. Belum lagi tayangan kekerasan, tindakan amoral, figur-figur menyeramkan, jahat dan kejam yang begitu sering ditontonkan kepada anak-anak kita. Media kita seperti tidak peduli dengan apa dampak negatif penyiaran terhadap masa depan dan moral anak-anak kita.

Belum lagi sistem pendidikan nasional kita yang kalau kita amati secara seksama, tidak lagi produktif menciptakan anak-anak kita yang berkualitas dan bermoral. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan menjamin keselamatan anak-anak kita baik secara intelektual maupun moral. Betapa banyak anak-anak kita yang justru rusak kelakuannya karena pergaulan mereka di sekolah.

Kalau kita tengok Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menjadi landasan terbentuknya organisasi dunia PBB, di situ ditandaskan bahwa hak anak-anak harus diprioritaskan dan dilindungi. Dalam Konvensi Hak Asasi Anak yang ditandatangani tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi hak-hak anak baik pendidikan, kesehatan dan moralitas. Optional Protocol UNICEF di bidang larangan jual beli anak, protitusi anak dan pornografi yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2001 juga memberikan tambahan perlindungan hak anak. Sayangnya protokol itu belum diratifikasi oleh pemerintah, entah kapan akan diratifikasi? padahal itu juga mencerminkan sejauh mana perhatian pemerintah Indonesia terhadap kesejahteraan, keamanan dan perlindungan hak anak dalam kerangka internasional. Kita juga punya UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua itu adalah bingkai hukum baik internasional maupun nasional yang sangat cukup untuk melindungi hak-hak anak-anak kita.

Langkah Riel

Jadi yang lebih kita perlukan saat ini adalah langkah riel dan aksi nyata dalam memberikan perhatian yang lebih besar terhadap anak-anak. Anak-anak sebagai individu yang menjadi bagian dari keluarga, mereka bukan hanya milik keluarga atau orang tua mereka, tapi mereka juga bagian dari masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan perhatian negara.

Pesan presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa saatnya Indonesia harus lebih mengembangkan ‘soft power’ ketimbang ‘hard power’ haruslah juga dipahami oleh masyarakat luas bahwa semua itu bermuara pada bagaimana cara kita memberikan perhatian maksimal pada anak, baik itu dari segi gizi, pendidikan, moral maupun formal agar kesemuanya itu kelak dapat menjadikan mereka sebagai aset terbaik bagi kemajuan bangsa ini.

Lantas siapa yang paling bertanggungajawab mengemban tugas ini? semua pihak selayaknya harus mempunyai kesadaran penuh bahwa masa depan bangsa terletak pada pundak anak-anak kita saat ini. Orangtua, keluarga, pengajar, ormas-ormas, lembaga-lembaga pemerhati anak, media massa, partai politik ataupun pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap masa depan dan hak-hak anak Indonesia. Secara lebih tegas dapat dalam hal ini lembaga-lembaga pemegang kebijakan publik haruslah mempunyai agenda khusus yang ditujukan untuk mensejahterakan dan melindungi hak-hak anak. Di lain pihak lembaga-lembaga aksi haruslah mempunyai program khusus yang ditujukan demi kesejahteraan dan masa depan anak-anak kita. Dengan begitu, barulah anak-anak kita bisa berkata "Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia" karena mereka diperhatikan dan hak-hak mereka terpenuhi. Dengan begitu juga anak-anak kita lebih berpeluang menjadi sehat, cerdas, ceria, berbudi luhur seperti tema Hari Pendidikan Anak kali ini.

Ditulis, Islamabad, 21th July 2005

22 comments:

  1. selama pimpinan tertinggi kita masih belum memikirkan anak-anak,maka selamanya itu juga kita gag merasa bangga sebagai anak bangsa ini

    ReplyDelete
  2. hampir pertamaxxx...

    saiia menyebutnya pelajaran besar dari dan untuk sejarah, karena sesudah me'niati' dan merekayasa langkah2nya -entah berupa kemajuan atau ternyata malah kemunduran, entah penyejahteraan atau ranjau, progresi atau degradasi- manusia itu sendiri pulalah yang kemudian memiliki peluang tuk bercermin...

    jd.. mengapa kita gag bercermin terlebih dulu sebelum 'menyemprot'kan sesuatu tentang sesuatu...?!??! saiia mengamini klu tulisan tersebut mengambil langkah 'penyelamatan diri' dengan mengatakan "semua pihak selayaknya harus mempunyai kesadaran penuh bahwa masa depan bangsa terletak pada pundak anak-anak kita saat ini" ... tokh demikian lebih aman bukan mam?!!? :D

    makasih udah berkenan dengan ewot nya :)

    ReplyDelete
  3. Kadang sulit juga untuk bangga menjadi anak bangsa ini. Tapi ga ada salahnya kita mulai mencobanya :)

    ReplyDelete
  4. Kemarin saya membaca berita seorang anak dianiaya ayahnya sampai ia mengira anaknya sudah meninggal. Itu saja sudah perbuatan biadab, tapi ternyata tidak hanya sampai disitu, orang itu memanggul anaknya dan menidurkannya di rel, ingin memberi kesan anaknya mati ketabrak kereta.

    Kereta pun lewat namun hanya melindas kaki kanan bocah malang itu, putus. Tapi, setelah dibawa ke rumah sakit ternyata anak tersebut masih hidup.

    Sampai sekarang masih banyak orang tua yang melampiaskan kekesalannya pada anak. Ada juga yang karena faktor ekonomi, mereka tega membunuh anaknya. Semoga ke depan jaminan untuk kesehatan dan perlindungan anak semakin baik ya Mam.

    ReplyDelete
  5. Tanggungjawab yang paling besar memang ditangan orang tua, karena rasanya agak sulit dengan kondisi sekarang kita menggantungkan harapan pada pemerintah untuk peduli dengan kesejahteraan dan "kebahagiaan" anak2 bangsa...semoga kita mampu. amin.
    @ seno: he'eh...aku juga liat beritanya di tv, hiks...seddiihhh dech! rasanya pengin aku apain gitu ayahnya...grrrgth *gregetan mode on nich...

    ReplyDelete
  6. Mari kita, para ibu Indonesia, menunaikan amanah atas pemeliharaan dan kesejahteraan serta masa depan anak-anak paling tidak di lingkungan terkecil yaitu anak2 kita sendiri. Dan jangan henti2nya berdoa untuk hal yang sama bagi seluruh anak2 Indonesia.

    ReplyDelete
  7. Mari kita, para Ibu indonesia, menunaikan amanat atas pemeliharaan dan kesejahteraan serta masa depan anak2 paling tidak di lingkungan terkecil, yaitu anak2 di rumah kita sendiri.

    Jangan berhenti berdoa untuk hal yang sama bagi seluruh anak Indonesia.

    ReplyDelete
  8. hari anak nasional cuman simbol n perayaan biasa aja say, msh dipertanyakan apakah pemerintah sudah memberikan yg terbaik kpd anak2 indonesia...

    ReplyDelete
  9. Air mataku untukmu wahai anak-anak Indonesia.

    ReplyDelete
  10. lebih celaka lagi istilah bahwa anak adalah investasi masa depan, memangnya mereka itu nantinya nggak jadi manusia.. haks

    ReplyDelete
  11. Waduuh rinci banget masalah-masalah yang dihadapi oleh anak-anak bangsa ini,,entah dengan apa untuk mungurangi nilai kemiskinan..karena aku anak jawa timur jadi aku lebih condong melihat tetang aku siapa lagi kalo korban lumpur sidoarjo yang menelan rumah mereka..andai saja aku pengusaha kaya raya yang memiliki tanah 1000 hektar insya allah aku akan menyumbangkannya untuk dibangun rumah buat mereka korban lumpur panas lapindo,,amiin

    ReplyDelete
  12. problem lanjutan, puluhan juta orang tua yg karena desakan ekonomi sehigga waktu dan pikiran habis untuk bekerja hingga perhatian ke anak terutama masalah pendidikan kurang.

    maka peran aktif pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan sangat diharapkan untuk mereka.

    Nah, abad ketujuh hijriyah menjadi sejarah emas islam dalam hal pendidikan dan kebudayaan. Menelaah, bagaimana sistem pendidikan yag diajarkan pada saat itu sehingga bisa menghasilkan generasi sekelas ibnu sinna(inetelek dan 'alim), nih kayaknya yg perlu. (kapan yah dibahas disini)
    xixixixi....

    ReplyDelete
  13. anak merupakan cahaya mata orang tua seperti dalam lagunya PADI "Cahaya Mata" he..he....anak adalah tanggungjawab utama orang tua...karena hitam putihnya anak tergantung dari orangtuanya...dalam hal ini bagaimana orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak.Insya Allah...kalaupun sang anak sempat tergelincir dari relnya dikarenakan lingkungannya...namun berhubung sebelumnya telah mendapatkan pendidikan yang baik dari orangtuanya pasti akan kembali ke relnya...Namun sayang sekarang ini dengan alasan kemiskinan banyak para orang tua yang mengeksploitasi mereka untuk bekerja. Ups....maaf kepanjangan....

    ReplyDelete
  14. Seringkali orang tua kadang tidak tahu bagaimana cara mendidik anak, pendidikan hanya diserahkan pada instutusi pendidikan formal yang sebenarnya hanya memberikan porsi beberapa persen saja dalam pembentukan pribadi dan mental anak, ironis

    fenomena kota-kota besar kedua orang tua sibuk truss, ampe ngak sempet kontrol perkembangan anak, maka anak pagi ampe siang di serahkan sama sekolah, sore diserahkan sama guru les/ guru ngaji, dan malam di serahkan sama TV, kapa orang tua berperan????
    apakah alasan bekerja untuk mencapai taraf ekonomi lebih baik menjadi alasan pembenar ???

    aku pernah punya pengalaman ketika pendampingan anak-anak jalanan dan anak-anak kota pinggiran, kita memberikan bimbingan dan pelajaran tambahan kepada mereka,
    singkat kata, metode ini berhasil pada anak-anak miskin yang tidak terjun langsung ke jalan, tapi para anak jalanan yang tidak mengemyam pendidikan formal sama sekali, sangat sulit untuk mengembalikan mereka "ke jalan yang benar" mental jalanan begitu kental, mereka ngak mau masuk sekolah sekalipun GRATIS, karena sekolah tidak mengahsilkan uang untk makan, sedang di jalan mereka bisa dapet duit, hasil investigasi kita... ternyata mereka pun malas untuk sekolah, sekolah ngak penting dan ironisnya lagi, orang tua mereka tidak mendukung sama sekali untuk anaknya sekolah, justru mereka lebih suka kalau anaknya jadi pengemis atau pengamen...........
    jalan tengah saat itu, sebelum kita belajar, maka kita bantu mereka ngamen atau jualan koran, setelah dapet hasil kita ksihkan hasilnya sama mereka, baru belajar bersama.........
    DAN INILAH KITA.........
    tapi tetap semangat, sekecil apapun kita dapat melakukan sesuatu, let's begin !!!

    dan saat ini kita harus bangga dan belajar untuk bangga menjadi bangsa indonesia, bukan karena indonesia, masih miskin atau tidak berarti banyak bagi dunia internasional, tapi kita harus bangga karena inilah KITA........... dengan percaya diri maka kita bisa bangkit... CAYOOOO

    Salam. muntafiah

    ReplyDelete
  15. Semoga pemerintah lebih memperhatikan nasib anak2

    salam Bu dari Kuliah Gratis

    ReplyDelete
  16. Yang paling deket sih menurut saya, orang tua paling bertanggung jawab untuk masa depan anak2. Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap anak2 yang sudah tidak punya keluarga? apakah lembaga untuk pengurusan anak terlantar dan partai politik kita bisa diandalkan?

    mam, sorry baru berkunjung,...lagi kurang enak badan...

    ReplyDelete
  17. aku memang tak bisa berbuat banyak dengan segala keterbatasan yang aku miliki, namun tak berarti kita para ibu2 RT tidak melakukan apa-apa, lets start from diri kita sendiri now, pastikan anak2 kita, atau anak2 disekeliling kita mendapatkan keindahan, perhatian dan kebahagiaan masa kecilnya, sehingga kelak dia tidak lagi mencari perhatian, tapi justru memberikan pehatiannya pada hal-hal yang luar biasa penting, ulasan yang keren mam, sukses selalu ya

    ReplyDelete
  18. Nice post ...

    Iya … memang sekarang ini ada sebagian anak-anak yang telah kehilangan peranan orangtua, terutama Ibu, yang sebenarnya merupakan komponen utama dalam pembentukan karakter dan masa perkembangan anak.

    Peranan orang tua sangat penting dalam mengasuh anak, memberikan pendampingan, perlindungan hukum, dan menjauhkan anak dari kekerasan baik phisik maupun non phisik.

    ReplyDelete
  19. kita harusnnya yang membuat mereka berbangga kepada negeri ini.

    salam kenal!

    ReplyDelete
  20. sungguh akan menjadi sangat Indah jika anak Indonesia tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dengan ke-Indonesia-annya. Sehingga dia tidak hanya sekedar bangga dengan Indonesia, namun dia sendiri adalah Indonesia

    ReplyDelete
  21. iya, kita sbg orang tua lah yg menentukan nasib anak2 Indonesia di masa datang.

    nice post, mbak
    salam kenal :)

    ReplyDelete
  22. tugas kita sekarang menjadikan anak-anak bangga menjadi anak Indonesia,minimal anak sendiri dulu. salam kenal.

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar jika ada yang ingin anda sampaikan untuk postingan ini.
Regard,
Mama Hilda