Wednesday, July 23

Dilema Politik Islam; Ulama vs Militer

Akar konflik, Munculnya Fenomena Islam vs Islamism

Islamist adalah sebutan genre keagamaan yang menampilkan paham lebih keras bahkan radikal dalam pergeakannya. Diaspora kelompok keagamaan yang kemudian memunculkan berbagai macam aliran dan madhab yang saling mengklaim kelompoknya masing-masing pengikut ajaran salaf.

Memang, pada sejarahnya mereka disebut salafi, yaitu pengikut jejak nabi, salafussalih, atau disebut juga ahlussunnah wal jama'ah, mereka yang mempraktekkan ajaran islam sesuai dengan generasi terdahulu, secara normatif, salafi merupakan idealisasi paling harfiyah dalam menjalankan praktik keagamaan sebagaimana generasi terdahulu, hingga fase ini gerakan salafiyah sebatas paham semata, sampai tahun ke 12 hijriyah Ibn Taymiyah mempopulerkan ajaran ini, lambat laun pada perkembangannya, gerakan salafiyah menampilkan paham yang lebih keras bahkan radikal sekaligus, sehingga kita dapati ada gerakan salafiyah yang membatasi diri dalam praktek keagamaan yang mereka klaim bersih dari syirik dan bid'ah, ada juga gerakan salafiyah yang bersifat haraki dengan kecenderungan untuk terjun ke dunia politik lebih besar atau salafi ideologis.

Dalam tulisannya Haider Nasir, tampilan perilaku keagamaan kaum salafi dari yang radikal hingga yang moderat inilah kemudian menampilkan ragam pergerakan, disatu sisi kaum salafi moderat cenderung lebih fleksibel dalam menyikapi keberagaman, sementara disisi lain kaum salafi radikal, selain serba harfiah dalam pemahaman islamnya juga dikenal serba militan dan kaku dalam praktek keagamaannya.

Format pemahaman keagamaan yang serba harfiah dan doktriner kemudian bersenyawa dengan militansi gerakan politik ideologis yang Sama kakunya sehingga menampilkan wajah kelompok kegamaan yang dikenal sebagai kaum Islamist garis keras, kelompok ini seolah menghidupkan kembali gerakan salafiyah wahabiyah, ikhwanul muslimin dan jama'at islami dengan berbagai macam tampilan dan isu politis yang dipadukan dengan agama, sehingga menambah maraknya benturan keagamaan.

Beranjak dari pemahaman agama yang serba doktriner dan kaku dipadu dengan ambisi politik dan fanatisme kepentingan golongan yang tinggi, ditambah dengan situasi krisis yang termarginalkan dan menekan, kepentingan yang tidak terealisasikan, aspirasi yang terlindas, dari sinilah kemudian memunculkan tokoh-tokoh garis keras yang merekrut orang-orang dengan pemahaman agama yang minim demi menggolkan kepentingannya, hingga kita dengar istilah bom bunuh diri atas nama jihad.

Tentunya fenomena diatas tidak asing bagi negara-negara mayoritas muslim, karena pergerakan kaum islamist bersifat borderless, transnasional, trans border, seperti kata Olivier Roy, dalam bukunya Globalized Islam the search for new ummah, yang beranjak dari kegagalan politik umat Islam, yang mana hingga saat ini belum mampu membentuk sistem kenegaran yang proporsional, sehingga menumbuhkan rasa percaya diri bagi kaum muslim. Proses pemilihan umum yang diadakan di nehara-negara muslim malah justru rata-rata dimenangkan oleh partai-partai bukan dengan basis islam, melainkan dengan basis sekuler, Pakistan sendiri suara terbanyak justru dari partai PPPnya Benazir Bhutto, sementara partai-partai Islam lainnya hanya mampu berkoalisi agar dapat tetap eksis di parlemen.

Politik dan Intervensi Militer

Salah satu persoalan rumit yang dihadapi oleh negara berkembang dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang propporsional adalah bagaimana mewujudkan hubungan sehat antara sipil militer, format relasi sipil militer pada masa transisi independen suatu negara sangatlah berpengaruh menuju proses demokratisasi. Kalau di negara-negara maju, format relasi sipil militer cenderung mengacu pada asas supremasi sipil atas militer, civilian supremasi, karena prinsip ini menjunjung tinggi keputusan-keputusan politik para politisi yang telah terpilih sebagai pelaksana dari asas kedaulatan rakyat.

Pada kenyataannya yang terjadi pada negara-negara muslim, pemerintahan sipil sangat kesulitan untuk membatasi intervensi militer dalam politik, hal itu terjadi karena banyaknya kepentingan kelompok-kelompok yang saling berseberangan, sehingga melemahkan institusi-institusi sipil dalam menjalankan pemerintahannya. Di negara-negara muslim umumnya kekuatan sipil terpecah pada kelompok islam moderat, islamist dan nasionalis, yang masing-masing mempunyai agenda tersendiri dalam kancah perpolitikan dalam negeri, biasanya golongan islam moderat dan nasionalis akan dengan mudah mengkompromikan kepentingan mereka. Yang sering terjadi kadang justru dari kelompok islamis inilah seringkali memunculkan benturan kepentingan, yang lambat laun melemahkan instutusi sipil, mengakibatkan tidak dihargainya pemerintahan sipil sehingga menimbulkan berbagai persoalan domestik. Dus, seperti yang dijabarkan Huntington dalam bukunya The Soldier and the State, jika institusi sipil melemah, secara tidak langsung mengundang militer untuk melakukan intervensi politik.

Pada kasus pakistan, peta kekuatan politik didominasi oleh beberapa faksi yang sangat ektreme berseberangan, disatu sisi ada kelompok nasionalis yang didominasi oleh kekuatan PPP (Pakistan People Party-nya Benazir Bhutto), ada faksi kelompok Islamis yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan partai-partai islam yang ada, juga kelompok militer dengan politik praktisnya. Pemerintahan terpilih yang akan datang diharapkan dapat meminimalisir tiga konflik utama yang selama ini mewarnai evolusi terbentuknya negera pakistan, antara lain ketidakseimbangan kekuatan antara kekuatan sipil dan militer, problematika islam sebagai simbol agama negara dan hubungan pakistan dengan negara-negara lainnya, juga distribusi kekuasaan regional yang tidak proporsional, sebagai kasus provinsi tha punjab mendominasi distribusi kekuatan yang ada. Lihat Pakistan at a Crossroads.

Dari sinilah dapat diambil kesimpulan, bahwa selama kekuatan sipil tidak mendapat tempat yang proporsional dalam pemerintahan suatu negara, ketidakpercayaan masyarakan pada pemerintahan sipil yang terpilih, secara tidak langsung akan mengundang intervensi militer untuk mengambil alih pemerintahan suatu negara.

Pakistan at Crossroad, Politik Ulama dan Militer

Munculnya Pakistan dipeta dunia sebagai Islamic Republik of Pakistan, memberikan kesan bahwa politik Pakistan sangat didominasi oleh kekuatan-kekuatan kelompok Islam sehingga menempatkan Islam sebagai agama resmi yang diakui oleh konstitusi pemerintah.

Pada sejarahnya militer dan ulama tidak dapat dipisahkan, suatu hubungan simbiotik dimana dua kekuatan ini saling melegitimasi kekuatan yang lain, militer dengan politik praktisnya mencoba mencari dukungan lewat partai-partai Islam demi mencari popularitas massa, jargon-jargon islam dipilih untuk mendaptkan dukungan sebanyak-banyaknya, sehingga ada istilah santri militer, hal tersebut karena diikutsertakannya dalam kurikulum agama pada perwira-perwira sekolah militer

Lebih lanjut lagi, politik ulama tidak dapat disepelekan begitu saja, mungkin kita perlu menilik agenda apa sebenarnya yang diperjuangan oleh para politikus-politikus ulama ini, diantara agenda pertama dan yang paling penting adalah agenda islamisasi. Untuk menggolkan agenda islamisi tersebut tentu saja dibutuhkan legitimasi struktural yang dapat mengakomodasikan suara-suara para ulama tersebut, dari sini kita dapati ulama dengan jalur partai politiknya, ataupun ulama dengan basis jalur pendidikan seperti kita dapati pada pergerakan JI jamaat-e-islami. Agenda kedua penolakan kekuasaan militerisme dan memperjuangan pemerintahan demokratis, seperti yang disuarakan maududi dengan teory theodemocracy, selanjutnya agenda yang tidak kalah penting demi mengontrol berjalannya agenda ulama ini yaitu dengan proses islamisai militer.

Pada praktiknya ulama dihadapkan pada ketidaksiapan masyarakat awam dengan agenda ini, sehingga pro dan kontra senantiasa ada, sehingga politik ulama ini terkesan multi dimensi. Seperti dukungan MMA pada koalisi pemerintahan musharraf pada pemilu 2002, kemenangan MMA partai besar ketiga menjadikan PML-Q (pro musharraf) melirik partai ulama untuk membentuk kekuatan mayoritas dan menguatkan posisi pemerintah yang ada, sehingga secara tidak langsung para ulama sendirilah yang memberikan legitimasi pada otoritas militer.

Lebih lanjut lagi kudeta militer general Zia-ul-Haq tahun 1978 atas pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto, hal ini dilakukan mengatasnamakan restorasi agenda islamisasi yang dinilai pemerintahan terpilih-Zulfikar Ali Bhotto telah gagal. Kerjasama ulama militer dibawah banner Pakistan National Alliance berhasil mengangkat zia-ul-haq menjadi pemimpin Pakistan, sampai pada akhir masa wafatnya justru ulama mulai menarik dukungannya kepada presiden tersebut. Peristiwa tersebut meninggalkan kesan ulama dengan politik double standardnya justru membuat ulama sendiri kehilangan simpati dari masyarakat umumnya, disatu sisi ulama dengan gencarnya memperjuangan pemerintahan Islam yang demokratis dan penolakan militer dari arena politik, tapi disisi lain justru ulama memanfaatkan militer demi menggolkan agendanya. Mengutip perkataan Esposito dalam bukunya Islam and democracy “the coopting of Islamist groups by government has often handicapped the groups and lead them loosing their political clout with the masses”, Kasus yang sama juga pernah terjadi di Malaysia bagaimana founding membernya muslim youth assembly of Malaysia (ABIM)-Anwar Ibrahim dan Siddiq Fadhil- terpaksa kehilangan simpatisan dari rakyatnya.

Menurunnya pengaruh ulama di pemerintahan tidak lantas membuat ulama mundur dari arena politik, setelah kematian Zia-ul-Haq ulama tidak mendapat peran yang berarti dipemerintahan, pun mereka juga kehilangan simpatisan yang dapat menguatkan ballot pemilihan umum, hingga akhirnya ulama terpaksa mundur dari konstelasi politik dengan lebih mengkonsentrasikan diri pada pendidikan, madrasah dan pada isu luar negeri (afghan dan Kashmir).

Tahun 1992, tumbangnya pemerintahan Najibullah di Afghanistan memberikan angin positif bagi kekuatan ulama untuk kembali aktif dalam kancah politik, hal ini didukung dengan banyaknya simpatisan. Kelompok JUI mengajukan proposal pemerintahan Afghanistan paska Najibullah agar diangkat dari simpatisan JUI Afghanistan dan Hizb Islami, meskipun pada waktu itu Nawas Sharif menolaknya, tetapi pada akhirnya justru orang-orang madrasah inilah yang kemudian menguasai Afghanistan.

Moment invasi atas Afghanistan menjadikan ulama kembali mendapatkan akses ke pemerintahan Pakistan, bantuan logistik yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah Pakistan semakin memperkuat sentiment anti Amerika dikalangan masyarakat pada umumnya, terlebih lagi dikawasan tribal area, sehingga dengan peristiwa ini seakan-akan ulama kembali menguatkan dukungan dan simpati rakyat, domestik maupun Negara-negara yang berbatasan dengan Pakistan. Ditandai dengan terbentuknya PADC (Pak-Afghan Defence Council) menguatkan kelompok JI untuk berinisiatif membentuk aliansi politik dibawah banner MMA-muttahida majlisi-e-amal, sebuah koalisi yang mewadahi aspirasi semua ulama tanpa memperdulikan latar belakang pergerakannya. Dari MMA inilah perjanjian perdamaian dengan Waziristan dapat tercapai meski setelah peristiwa lal-masjid akhirnya memanas kembali karena pemerintah dinilai oleh ulama tidak lagi mengindahkan agenda utamanya.

Diantara isu yang tidak kalah penting yaitu islamisai militer, ada atau dengan kata lain ulema beholding the military, merka dapat menyusup kesatuan perwira terutama perwira-perwira dengan pangkat menengah kebawah, hal ini dilakukan untuk menambah level kesadaran beragama juga untuk memastikan proses indoktrinasi, yang nantinya menjadi lahan strategis bagi ulama untuk memperkuat pengaruhnya di kalangan militer.

Mencari Format Politik Ulama

Beranjak dari kasus Pakistan mungkin dapat kita ambil pelajaran, bagaimana sesungguhnya format politik ulama sehingga dapat tetap eksis mendapatkan simpati yang solid dari kaum muslimi pada umumnya. One men one vote (one muslim one vote for Islamic party) -meminjam istilah Olivier Roy, jarang sekali politik ulama ini mendapat tempat yang hangat di pemerintahan sebagai pemegang biduk pemerintahan, pun yang banyak terjadi kemenangan partai-partai Islam bukanlah kemenangan telak dari pendukung dan simpatisannya, sama halnya dengan pemilu yang baru-baru ini dilaksanakan di Pakistan. Untuk kesekian kali pemilu di Islamic republic of Pakistan ini dimenangkan justru dari partai naionalis pendukung PPP dan Islam moderat PML-N, yang untuk kesekian kali posisi ulama tetap di peripheri.

Keterminggiran partai Islam dalam pemilu menandakan bahwa muslim sendiri belum merasa nyaman dengan partai Islam, terlebih lagi agenda islamisasi yang rakyat sendiri belum dapat secara suka rela menempatkan agenda ini sebagai agenda nomor satu, apa yang diharapkan dari pemilu di mayoritas negara-negara berkembang adalah sebentuk harapan tercukupinya kebutuhan pokok rakyat, sandang pangan yang tercukupi dan pendidikan yang terjangkau, maka tidak mengherankan jika antusiasme masyarakat pada partai Islam menurun.

Islamisai sebagaimana demokrasi merupakan sesuatu yang dimulai dari bawah dan hal tersebut membutuhkan prakondisi yang menunjang, bukan sesuatu from above atau gifted tapi hal tersebut lebih merupakan usaha kesinambungan untuk memenuhi prakondisi tersebut sehingga lambat laun islamisasi itu akan dengan sendirinya menguak kepermukanan dan mendapakan simpati dari kaum muslimin itu sendiri. Jika yang terjadi selama ini di Pakistan khususnya peristiwa bom bunuh diri dan teror semua itu semakin memperburuk citra partai Islam dimata rakyat, karena Islam yang dikenal bukan Islam kekerasan dan penuh teror tapi Islam yang ramah dan cinta kedamaian. Jika hal ini terwujud tanpa melalui aliansi elektoral pun simpati dan suport massa dengan serta merta akan berpihak.

Belajar dari pakistan, selayaknya format politik ulama dapat lebih mengacu pada hal-hal yang lebih riil, tanpa bermaksud mengesampingkan agenda islamisasi, tapi setidaknya jangan sampai partai-partai Islam itu sendiri kehilangan muka dimata kaum muslimin, agenda peningkatan SDM, penyediaan sandang pangan dan pendidikan yang terjangkau sebagai penopang kemajuan SDM suatu bangsa merupakan langkah awal yang penting untuk dicermati oleh kalangan politikus-politikus Islam kita. Wallahu alam bishowab

Bibliografi:

1. Samuel P. Huntington, The Soldier and the State, The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Harvard University Press 1957.

2. Olivier Roy, Globalized Islam; the Search for a New Ummah, Alhamra Publishing, Pakistan 2004.

3. Emma Duncan, Breaking the Curfew; A Political Journey Through Pakistan, Arrow Book Limited , Londom, 1990.

4. Emmanuel Sivan, Radical Islam; Medieval Theology and Modern Politics, Yale University Press, NY, 1985.

5. Muhammed Nawab, The Ulama in Pakistani Politics, S Rajaratnam School of International Studies Singapore, July 2007.

6. http://www.thenews.com.pk/editorial_detail.asp?id=65199, Pakistan at a Crossroads, by Praful Bidwai.

7. http://www.thenews.com.pk/print1.asp?id=80150, Rule of Force vs Rule of Law, by Zia Mian and AH Nayyar.

8. http://www.gatra.com/artikel.php?id=106222, Ketika Salafi Berebut Tafsir, By Haedar Nasir

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar jika ada yang ingin anda sampaikan untuk postingan ini.
Regard,
Mama Hilda